Sakit Hati Dari Perasingan

Hutan belantara itu berubah menjadi lapangan luas. Kayu tebangan masih berhamburan. Orang-orang itu, masih terus menebangi pohon lainnya. Beberapa orang lainnya, membabati semak berduri. Tetes keringat dari dahinya, menjadi pengganti air minum yang bercampur dengan ludah untuk melepas haus.

Panas menyengat, mereka harus menyeka peluh di sekujur wajah dengan kaos rusuh yang dikenakannya. Malam yang dingin, sambil duduk mereka mengapit kaki dengan tangan untuk menutupi perutnya. Mencari kehangatan.

Mereka manusia. Tapi hari-hari menjalani hidup bagaikan anjing yang terikat lehernya. Setiap langkah kaki dan gerakan tangannya, diawasi tentara yang mengapit senapan AK 47 di ketiaknya. Moncong senjata mengarah ke mereka. Sesekali para pekerja menoreh ke tentara, hanya sekedar ingin tahu apa yang sedang dilakukannya.

Setiap sudut, masing-masing dijaga dua tentara. Dua menara pengawas didirikan di bagian timur dan barat, dijaga satu tentara setiap menaranya. Semua pasukan berbaju loreng ini, tajam mengamati setiap gerakan. Sesekali berteriak dari kejauhan.

“Komunis goblok…Pembunuh…!!! teriak tentara jika sedang kesal.

Menjelang malam. Mereka bersiap-siap merebahkan tubuhnya di dalam tenda terpal milik tentara. Lolongan anjing, jangkerik dan burung celepuk, saling bersahutan. Lampu tempel minyak, bergantung di depan tenda. Dari mereka ada yang menembang. Suaranya lirih. Yang lain memilih tidur saling berhimpitan.

Sebelum matahari terbit, mereka harus siap-siap kembali bekerja. Menebang pohon dan membabat semak lagi.

“Tahun 1977, saya yang pertama jadi penghuni tempat ini. Dulu masih hutan. Kami yang tebangi jadi lahan-lahan untuk rumah dan kebun. Di awasi tentara, siang dan malam,” kenang Oentong.

Bernama lengkap Oentong Suyanto. Kelahiran Sangasanga, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur pada 10 Agustus 1940. Satu dari 178 di antara mereka yang dikerja-paksa membabat hutan untuk dijadikan perkampungan.

Mereka adalah orang-orang yang ditangkap, disiksa dan tanpa diadili karena dituduh sebagai partisipan Partai Komunis Indonesia atau PKI. Partai yang dituding sebagai dalang pembunuhan Jenderal di Jakarta, 1 Oktober 1965.

Oleh rejim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, mereka menjalani hidup dari satu penjara ke penjara lain. Juga merasakan kepedihan kamp-kamp konsentrasi yang tak layak huni. Dan akhirnya berakhir di hutan perasingan tak bernama. Belakangan baru diberi nama Argosari. Masuk wilayah Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.

Mereka mengira, akan segera datang kebebasan. Kembali bertemu dengan istri dan anak-anaknya. Apalagi, mereka yakin, tak pernah merasa salah dan tidak terbukti sebagai pembunuh atau terlibat komunis.

Hanya impian.

Mereka dikerja-paksa untuk membabat hutan dan dijadikan lahan siap huni selama bertahun-tahun. Bahkan Tidak boleh menemui keluarga, anak, atau masyarakat sekitarnya. Kawasan yang benar-benar asing bagi mereka. “Beberapa dari kami, mati sakit saat kerja paksa babat hutan itu berlangsung,” tutur Oentong.

Padahal, Oentong hanyalah seorang prajurit berpangkat kopral dua yang bertugas di Batalyon I Intel di Kuaro, Tanah Grogot, Pasir. Oleh rekannya, dikenal sebagai seorang seniman. Darah Jawa dari kedua orang tuanya, tak lekang dari kesenian ludruk yang dilakoni untuk menghibur.

“Sebelum jadi tentara, saya sudah gemar bermain Ludruk. Dari kampung ke kampung. Dari pangung ke pangung. Berangan-angan menjadi seniman besar negeri ini,” tuturnya.

Ia tak pernah kenal yang namanya Lembaga Kesenian Rakyat alias Lekra yang bernaung di bawah panji merah berlambang Palu dan Clurit yang menjadi bendera PKI. “Saya tidak pernah mentas bawakan lakon PKI atau kekerasan. Hanya kisah-kisah Ramayana,” tutur Oentong.

Hobi kesenian sejak 1960-an itu, ternyata justru jadi petaka. Berangan-angan menjadi tentara yang mengabdi pada negara dan didambakan keluarga, justru berputar balik setelah adanya penculikan Jenderal yang terjadi di Jakarta pada dinihari 1 Oktober 1965.

Ia mendengar dari radio tentang adanya kudeta dan penemuan mayat tentara di Lubang Buaya, Jakarta pada 4 Oktober 1965 oleh pasukan pimpinan Mayor Jenderal Soeharto.

Enam Jenderal yang tewas adalah, Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo. Satu Jenderal yang jadi incaran tapi selamat adalah Jenderal TNI A.H. Nasution. Namun ajudannya, Lettu Pierre Tandean ikut diculik. Juga anak perempuan Nasution, Ade Irma Suryani tertembak dan beberapa hari kemudian akhirnya meninggal dunia

Oentong sebagai tentara Batalyon Intel di Kalimantan Timur, mendapat tugas menjalankan operasi penumpasan anggota PKI. Dengan semangat, ia menjaga markas tentara agar tidak disusupi gerombolan komunis.

Ternyata keliru. “Saya yang malah ditangkap,” tuturnya.

Ia ditangkap saat berusia 28 tahun. Petaka itu dimulai pada Senin, 16 Maret 1968 saat bertugas di Batalyon Kuaro, Tanah Grogot, Kalimantan Timur, dikagetkan dengan sekelompok tentara yang menodongkan senjata AK-47.

“Jangan bergerak, angkat tangan! Gertak seorang tentara dari kesatuan Infanteri 612 Mulawarman IX (sekarang Kodam VI Tanjungpura).

Oentong langsung dipaksa masuk ke dalam truk bermotif loreng milik tentara. Ternyata tak sendiri. Di dalam truk sudah ada 10 tentara lainnya. Setiba di Markas Kodam Balikpapan, Kalimantan Timur, ia digiring ke satu ruangan.

Inilah awal memilukan selama menjalani masa interogasi.

Seorang tentara berpangkat Sersan, duduk dihadapannya. "Tung, kamu suka main ludruk?" tanya sang Sersan. Oentong mengiyakan.

"Kamu orang Pemuda Rakyat atau Lekra?" tanya Sersan itu lagi dengan bentakan.

Dengan pertanyaan itu, Oentong kaget. Ia tersenyum dan menjawab, "Bukan, Pak. Saya punya kelompok seni, namanya Gaya Muda." Pemuda Rakyat dan Lekra, adalah organisasi bentukan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bergerak di bidang kepemudaan dan Kesenian.

Jawabannya dianggap main-main. Oentong dibentak lagi. Pertanyaannya, seputar hobinya berkesenian yang dikaitkan dengan komunis.

Dari sang Sersan, ia dipindahkan ke interogator lain. Kali ini, ia kenal orang yang dihadapinya. Namanya Mulyono. Oentong mengenalnya sebagai aktifis dan pengurus pusat Partai Komunis Indonesia (PKI). Oentong heran, Mulyono justru mengajukan pertanyaan soal kegiatan PKI.


"Saya tidak tahu apa-apa, tetapi disuruh mengakui anggota PKI. Saya tetap tidak mau mengaku meski diancam akan dibunuh. Akhirnya saya diinterogasi dan ditahan dari satu penjara ke penjara yang lain," kenang Oentong.

Selama pemeriksaan, ia kerap mendengar orang kesakitan, teriakan karena penyiksaan, bahkan hari-hari mendapat kabar adanya yang mati disiksa dan dibunuh oleh tentara.

Dan dalam penjara, mereka menjalani penderitaan yang luar biasa. Haus dan lapar, jadi hal yang biasa dialami. Yang mengerikan, ketika penyakit mulai menjangkiti para tahanan politik. Dari hanya sekedar gatal-gatal, diare, hingga demam tinggi. Jangan harap mendapatkan pelayanan kesehatan, dikasih obat saja sudah dianggap anugrah.

Jika tak tahan menjalani hidup, mati menjadi pilihannya. “Hampir setiap hari, ada saja kabar yang gantung diri atau mati karena penyakitnya,” tutur Oentong.

“Kematian dan hidup, seakan bukan takdir dari Maha Kuasa. Tapi, sudah digenggaman tangan manusia. Ternyata, manusia sudah melebihi batas hak Tuhan untuk mancabut nyawa,” tutur Oentong.

Kabar pilu, sudah bukan lagi berita menyedihkan. Ia sudah terbiasa. Dalam pikiran Oentong, dirinya sudah pasrah jika akhirnya mati tersiksa seperti yang lainnya.

Usai menjalani pemeriksaan, Oentong dibawa ke Lembaga Pemasyarakat Stal Kuda, Balikpapan. Dia juga pernah mengalami penyiksaan di kamp konsentrasi di Sumber Rejo, Balikpapan. Di situ, ada 14 barak yang dihuni 1.500 orang yang dituduh PKI. Tak hanya orang PKI, ternyata banyak juga yang berlatar belakang organisasi keagamaan.

Menjalani pemeriksaan, penyiksaan, dan menjalani hidup dalam jeruji besi, menjadi catatan buruk hidupnya. Apalagi, ibarat lepas dari kandang macan, tapi masuk ke kandang singa. Dari rumah tahanan Stal Kuda, Balikpapan, tapi mereka direlokasi ke hutan tak berpenghuni yang jauh dari penduduk lainnya.

Oentong dan rekan senasib yang jadi tertuduh oleh Rezim Orde Baru, harus menyulap hutan seluas 2.000 hektar menjadi satu pemukiman. Tahun 1980-an, pemukiman itu dinamai Dusun Argosari. Masyarakat di luar pemukiman itu, mengenalnya; Kampung PKI.

Nama kampung Argosari, disematkan sendiri oleh para penghuninya. Bermakna tempat buangan. Alasannya, karena ditempati para manusia yang dianggap sampah oleh negara.

Rumah para eks tapol itu, kebanyakan menggunakan kayu dan beratap seng. Dan hanya beberapa saja yang menggunakan bata dan genting. Jika ingin buang hajat, hanya beberapa rumah yang punya toilet jongkok. Kebanyakan, lari di kebun belakang, mencari semak-semak, berjongkok, dan ditemani anjing yang siap menyantap sisa kotoran.

Oentong, menempati satu rumah bikinan sendiri. Kini sudah berdinding bata merah, beratap seng, dan lantainya berupa coran semen. Kini hidup dengan istri keduanya, Suripah yang melahirkan tujuh anak. Istrinya pertama minta cerai dan ketiga anaknya meninggalkannya seorang diri.

“Memang terkadang anak saya yang paling kecil pernah datang ke sini kalau ada acara. Tapi yang lain enggak. Saya ingin anak-anak saya itu ingat dengan ayahnya,” ujarnya.

Sejak 1980, Oentong dan kebanyakan penghuni Argosari sudah secara resmi dinyatakan bebas. Namun ia bingung. hingga saat ini belum ada pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah. “Sampai sekarang, posisi sebagai tentara tidak jelas. Karena tidak pernah menerima surat pemecatan,” ujarnya.


Kini, ia tetap menjalani hidup di pengungsian. Berharap dari bantuan anak-anaknya yang hidupnya sudah berpisah dengannya. “Kebutuhan sehari-hari sekedarnya saja. Makan dari hasil berkebun, bantuan anak, atau sesekali bantuan dari pemerintah,” tutur Oentong.

“Hidup kami benar-benar tersiksa ribuan kali panjangnya. Jelas-jelas tidak terbukti komunis, tapi gelar EX Tapol itu bikin kami hidup tak punya negara,” tutur Oentong.

Pedih siksaan, juga dialami Kasran, pria berusai 85 tahun ini. Hari-hari hidupnya hanya menatap kosong lahan kosong yang dulu ia tebangi bersama rekan tahanan politik lainnya dari balik jendela rumahnya. Ia tak pernah mendengar sama sekali adanya pembunuhan di Jakarta.

“Saya orang miskin. Mana sanggup beli koran atau radio. Saya yang penting cari makan. Organisasi saja, tidak ngerti. Eh…dituduh PKI,” ujarnya.

Kasran petani asal Cilacap yang mencoba mengadu nasib di Sangasanga sebagai penggarap sawah. Bukan keberuntungan, tapi malah masuk bui dan disiksa. Dituduh sebagai anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi onderbouw PKI.

Sisa hidupnya, hanya bisa dilakoni dalam rumah. Ia trauma bila berhadapan dengan orang yang tak dikenal. Apalagi jika dikunjungi oleh tamu berpakaian tentara. “Lebih baik saya menghindar dan menyendiri,” ujarnya.

Yang paling menyakitkan selama menjalani hidup diperasingan, anak-anaknya mendapat ejekan setiap hari. "Anak-anak saya dipanggil 'anak PKI' dan 'anak-anak dari pembunuh'. Padahal sebenarnya saya tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan," tuturnya.

Penyiksaan tidak hanya dialami lelaki. Banyak juga perempuan yang mengalami nasib nahas selama operasi penangkapan komunis di Kalimantan Timur. Supatmi misalnya. Ia baru saja melahirkan dan terpaksa harus menjalani tahanan bersama bayinya di penjara. Ia kaget, ternyata penjara sudah riuh dengan tahanan lainnya.

“Saya membawa bayi, karena butuh ASI. Di barak perempuan, suasana kayak pasar,” kenangnya. Ia dituduh sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia alias Gerwani yang menjadi onderbouw PKI.

Ia membayangkan dirinya berada di neraka. Ketika semua perempuan harus berhimpitan. Ada yang dalam kondisi hamil, sakit-sakitan, dan penderitaan lainnya. Bahkan, tak sedikit yang harus mengalami pelecehan seksual dari petugas tentara yang menjadi pengawas penjara.

“Selama dalam penjara, saya hanya didatangi oleh keluarga hanya dua kali. Setelah itu, bertahun-tahun tidak ada yang pernah nengokin lagi,” tutur Supatmi.

Nasib tak berhenti. Setelah bebas dari penjara dan akan direlokasi ke Argosari, ia menerima surat cerai dari suaminya. “Soal cerai, hampir semua mengalami sama. Itulah sakit yang harus kami beban sampai mati,” ujarnya.

Kini Supatmi kini hidup berdua dengan anaknya yang dibesarkan dalam penjara. Suami barunya yang sama-sama jadi tertuduh komunis, lebih dulu meninggal dunia.

Reformasi 1998 berhasil menggulingkan rezim Soeharto. Merasa menjadi korban orde baru, penghuni Argosari mendirikan Paguyuban Korban Orde Baru atau Parkoba. Mereka menuntut rehabilitasi dan berjuang pengembalian hak-hak sipil, pemulihan nama baik, dan pemberian kompensasi.

"Aku tidak menanggung dendam. Tapi jauh di dalam hatiku, aku masih merasakan sakit yang abadi, " tutur Oentong. Hingga kini, para tertuduh Argosari masih merasa sakit hati dalam perasingan.

Reactions

Posting Komentar

1 Komentar

Aurora mengatakan…
terima kasih infonya
Close Menu